Siapa yang tidak tahu
keberadaan PMII sebagai organisasi ekstra kampus dan juga organisasi yang
memiliki basis masa terbesar di indonesia dengan memiliki 235 jumlah cabang
se-indonesia dan ditahun ini usia PMII genap 55 tahun pada tanggal 17 April
2016 sejak berdiri pada tahun 1960 mengabdi untuk negeri. Namun keberadaan PMII
yang begitu besar tidak terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi,baik
secara internal maupun eksternal PMII sendiri.tantangan bukanlah sebagai
penghalang eksisnya PMII tapi harus dijadikan sebagai support agar tetap
survive ditengah tengah kehidupan antropologi kampus dan masyarakat.
Tantangan besar PMII saat ini
adalah penguatan kapasitas kader dan anggota PMII. Fakta hari ini minat untuk
mengembangkan platfon organisasi PMII sebagaimana diketahui bahwa organisasi
yang berlambang perisai ini adalah organisasi yang dikenal sebagai organ
kaderisasi dan gerakan.
Minimal harapan kedepan dengan
kondisi PMII hari ini anggota dan kader harus bisa mengejawantahkan
pemikiran-pemikiran gerakan nasional yang kekinian. Disisi lain itu juga
organisasi kemahasiswaan bintang sembilah ini bukan hanya mengadopsi pemikiran
issu-issu nasional, tetapi bagaimana anggota dan kader PMIIharus bisa survive
didengan kondisi lokalitas masing-masing cabang ditiap-tiap kabupaten dan kota.
Hasil yang diharapkan adalah anggota dan kader PMII bisa menjadi sentrum
gerakan mahasiswa minimal dilingkungan kampus.
Kondisi PMII saat ini harus bisa
keluar dari kelemut semakin melemahnya gairah untuk bergerak, baik dalam
gerakan pemikiran seperti diskusi-diskusi kecil dan mengaktualisasikan dari
sebuah hasil pemikiran. Selain itu, pembangunan kader PMII kedepan dari level
Rayon sampai dengan Cabang kita tidak pernah membuat skema baromater arah gerak
yang jelas. Realitas organisasi kelihatannya tidak pernah mengindahkan 100% apa
yang telah disepakati sejak kita duduk sebagai pengurus PMII. Kegiatan-kegiatan
hanya lebih bersifat dadakan.
Oleh karena itu, PMII kedepan
minimal harus mempunyai alat ukur dari sebuah keberhasilan pengurus baik dari
tingkatan Rayon, Komisariat sampai cabang. Sebab keberadaan PMII dari tingkatan
yang paling atas tidak terlepas dengan keberadaan PMII yang ada ditingkatan
grass-rote yaitu Rayon dan Komisariat. Disisi lain secara lokalitas bahwa PMII
adalah awal dari emberio gerakan, Artinya bahwa PMII sebagai stocholder.
Gerakan PMII harus tetap eksis menjadi sentrum gerakan baik dari gerakan
kaderisasi dan gerakan sosial dilingkungan antropologi kampus dan masyarakat.
Untuk mewujudkan pertahanan PMII sebagai mazhab sentrum gerakan.
Maka PMII sudah sepantasnya
mulai berbenah diri, baik dari tingkat Rayon sampai dengan tingkatan Cabang.
Dengan gerakan-gerakan pemikiran sebagai salah satu langkah untuk mencapai cita-cita
PMII menjadi kader yang Ulul Albab., yang tidak harus mengutamakan kecerdasan
berfikir, akan tetapi PMII hari ini
harus juga tetap menjaga tradisi-tradisi dan etika ke-islaman sebagaimana yang
diamanahkan dalam Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan Nilai Dasar Pergerakan (NDP)
PMII.
Sejarah
Tumbuhnya Kritisme di PMII
Keberanian Aktivis PMII untuk
mempertanyakan segala yang tersisa dari tradisi sangat dipengaruhi oleh sosok
Gus Dur. Pola Fikir seperti ini kemudian jika ditarik garis kebelakang, akan
menemukan akar kritisisme PMII dalam wilayah pemikiran. Keberhasilan Gus Dur
mengangkat berbagai persoalan islan trdisi Indonesia (NU) dalam belantara
diskursus kebudayaan, kebangsaan dan kepolitikan indonesia melalui
tulisan-tulisan dan pikiran-pikiran menggugahnya diberbagai forum ilmiah
(diskusi) telah mampu mengangkat kepercayaan diri para aktivis PMII saat itu
(yang masanya mulai tersebar juga dikampus-kampus umum dan negeri, tidak lagi
terkonsentrasi dikampus atau perguruan tinggi islam).
Sejak itulah lembaran baru
kritisme PMII tertoreh. Pada awal dasawarsa 70-an, PMII lebih disibukkan oleh
pergulatan internal (penataan Organisasi) dalam usahanya melepaskan diri dari
kungkungan historis, kultural dan ideologi dengan partai NU dan PPP. Sementara
itu HMI telah memiliki seorang pemikir seperti Noecholis Madjid, dengan
pemikiran neo-modernisnya mampu mengangkat Ghirah kawan-kawan HMI lainnya dalam
perambahan intelektual mereka yang memang anggotanya tersebar diberbagai kampus
umum dan agama baik negeri maupun swasta. Jargon Cak Nur “Islam Yes Partai
Islam no”, sekaligus mengusung pemikiran Fazlur Rahman (serta pemikir muslim
modern lainnya) dalam wawancara islam indonesia diparuh kedua dekade 70-an
membawa inspirasi pada kader HMI mengklaim dirinya dalam barisan kelompok islam
neo-modernis di Indonesia. Kebanggan HMI terhadap Cak Nur diakhir 70-an
akhirnya “tertandingi” juga oleh PMII yang tidak “rikuh” malah agak “bangga”
dituding sebagai penganut dan penyebar pemikiran tradisionalisme radikal
(meminjam istilah nakamura) dan ide gerakan kulturalnya Gus Dur di awal 80-an.
apalagi Gus Dur memegang jabatan Ketua Umum PBNU dimana sepak terjangnya mampu
mengelakkan segala hal yang berbau serba negara (peretas budaya perlawanan dan
oposan Orde baru). Radikalitas pemikiran aktivis PMII semakin berkembang pesat
dan memperoleh payung perlindungan dari keberatan para kyai “konservatif” NU
yang menganggap bahwa radikalitas pemikiran PMII yang mulai mempersoalkan dogma
dan cara berfikir masyarakat NU yang “jumud” dan diwarnai dengan penerimaan
penuh atas tradisi tanpa reserve itu sudah keluar dari pakem islam tradisional
mahbub Djunaidi dan Masdar Farid Mas’udiadalah produk dari dasawarsa 80-an ini.
Radilkalitas pemikiran PMII
semakin menjamur seperti cendawan dimusim hujan pada dekade 90-an.
Liberaliasasi pemikiran itu tidak hanya terbatas pada pembaharuan pemikiran
ke-islaman semata, bahkan hingga pada corak pemikiran kebangsaan dan cara
pandang mereka atas negara dan realitas sosial. Dasawarsa ini melahirkan sosok
intelektual PMII seperti Ulil Absar Abdalla, Mun’im Dz, Ahmad Baso dan lain
sebagainya.
Politik kampus adalah politik moral
yang sangat berbeda dengan kekuatan politik praktis lainnya. Arif Budiman
mempersonifikasikan peranperan itu dengan sosok “resi”, yakni sebagai pihak
yang selalu mengabarkan kepada rakyat untuk bergerak bersamamelakukan
pengatasan dan ketika huru-hara tersebut tertangani, maka segenap elemen kampus
tersebut kembali lagi kepertapaannya (kampus) untuk melanjutkan lagi tugas
utama menuntut ilmu dan memproduksi agen-agen perubahan yang siap bertarus
ditengah masyarakat.
Sedangkan
kemungkinan kedua akan mengakibatkan kampus harus bersedia memberikan sebagian
ruang dirinya untuk diintervensi oleh berbagai kekuatan politik yang ada. Besar
kecilnya pengaruh politik itu sangat tergantung dengan kekuatan kampus dalam
menanamkan paradigma dan etos kepada seluruh civitas akademika agar ridak mudah
terprovokasi oleh tipu daya politik.
Relitas
kampus seperti diatas itulah mestri diperhatikan benar oleh PMII, sebab tanpa
kampus PMII juga akan kehilang eksistensi dan perannya. Oleh karena itu,
menjadikan kampus sebagi kantong perjaungan adalah sebuah keharusan yang tidak
terbantahkan. Seluruh aktivis PMII mesti mengingat benar bahwa masa depan
sebagian besar rakyat indonesiabelum menjadi bagian yang pasti, tetapi tanpa
melalui jalan menjadi mahasiswa jauh lebih parah. Hal ini melukiskan betapa
sangat strategisnya posisi menjadi mahasiswa.
Minimal ada
tiga alas an mengapa PMII harus menjadikan kampus sebagai basis gerakan.
pertama, kampus senantiasa berupaya merealisasikan peranannya sebagi pembaharu
dan pelopor (perangsang) bagi perbaikan kondisi kehidupan masyarakat. Siapapun
tidak akan menyangkal, jika gagasan-gagasan perubahan diindonesia (hampir)
selalu dimotori atau lahir dari dalam kampus, baik zaman pergerakan nasional
hingga reformasi kemaren.
Inilah yang
menyebabkan keterlibatan kampus dalam kehidupan politik, karena berbagai
tawaran atau usaha pembaharuan tersebut terkait dengan struktur kekuasaan.
Pergualatan intens aktivis PMII Dengan (pemikiran) Gus Dur dan berbagai
pemikiran-pemikiran baru islam diluar mainstream pemikiran islam modernis
(neo-modernis) seperti Jamaluddin Al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, Sayyid
Muhammad Khan, hingga Al-Maududi telah mampu meletakkan organisasi kader
berbasis massa tradisional ini mengalami loncatan yang jauh daripada organisasi
kemahasiswaan atau kepemudaan Indonesia.
Pemikiran
ke-islaman Indonesia yang selamaini lebih mewarnai dengan corak pemikiran
modernism Islam, Lambatlaun mulai tersaing dengan lahirnya generasi baru
pemikir muda NU (yang dimotori oleh PMII) mengusung corak pemikiran pembaharuan
pemahaman ke-islaman liberal yang banyak depengaruhi oleh pemikiran-pemikiran
kiri islam-nya Hassan Hanafi, kritik nalar islamnya Arkoun, syari’ah
demokratiknya Mahmoed Thoha, dekonstruksi Syari’ahnya Ahmed An-Na’im, teologi
pembebasannya Ali Asghar, kritik ushul Fiqh-Nya Nasr Abu Zayd, hingga
post-tradisionalisnya Abed Al-Jabari.
Sejak itu
PMII telah dinyatakan telah mampu melakukan peramuan tradisinya dengan corak
pemahaman yang terbuka (tidak saklek) bagi masuknya perspektif diluar islam.
Anti ortodoksi dan progresif sehingga mampu menghasilkan pemahaman ke-islaman
PMII tidak lagi terbatas pada koridor aswaja melainkan mengalami lompatan jauh
melampaui batas tradisionalismenya bahkan pada batas sangat liberal. Geliat
corak pemikiran itu menjadikan PMII avent
garde penolakan atas realitas ortodoksi para kyai yang memegang otoritas
pemahaman keagamaan masyarakat islam tradisional, mengatasi standar lama dalam
memandang Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber pemahaman, menghindari
keterjebakan klaim oritatif pemahaman terhadap teks-teks nash sekaligus
menafikan corak fundamentalisme pemikiran kaum modernis Islam Indonesia yang
menjadikan islam sebagai sumber secara superior terhadap masyarakat Indonesia
lainnya, utamanya yang bukan islam.
Corka
pemikiran ke-islaman PMII diatas merupakan (respon) antitesa pola pembaharuan
peikiran islam kelompok modernis yang mengusung simbolisme dan formalism
pemahaman islam ataupun jargon Ijtihad dan kembali kepada Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Akibatnya, PMII menjadi sangat lekat dengan tema-tema pribumisasi
Islam, penganjuran pluralis, toleransi, Islam sebagai etika social, isalam
liberal, islam emansipatoris dan sangat anti dengan formalism islam yang sangat
berorientasi pada penegakan syari’at islam sebagai dasar hidup berbangsa dan
bernegara.
Dalam
konteks kebangsaan sosial-politik dan sosial-budaya persentuhan kretif aktivis
PMII dengan berbagai pemikiran islam yang dianggap “kiri” diatas ditambah
pergulatan dengan kelompok pemikir post-strukturalis dan post-modernisme
perancis, ataupun Habermas, Ritzer, Karl Kooper, hingga para pemikir sekuler
kiri, semacam Karl Marx, Gramsci, Freire hingga Che Geuvara telah membawa
liberalism pemikiran sosial-kebangsaan islam tradisionalis khususnya. Situasi
ini membawa PMII sangat karib dengan diskursus tentang Civil Society, Open
Society, Free Market Ideas, masyarakat komunikatif dan demokratisasi. Hal mana
dengan ini PMII mencoba membongkar dan menafsirkan kembali relitas social,
kebangsaan dan ke-indonesiaan.
Akibatnya,
wacana dan praktis social yang dibangun PMII menekankan pada perjuangan
perwujudan demoktatisasi, anti kemapanan, pemberdayaan masyarakat, kemanusiaan
universal, keadilan social dan menolak penyeragaman (de-politisasi), etatisme
Negara, menolak politisasi islam maupun ide pendirian Negara islam Indonesia.
PMII sejak era itulebih tertarik pada pemikiran-pemikiran gerakan kerakyatan,
liberasi dan perjuangan kultural yang mengandung etos revolusioner dan
transformasif.
Dalam
konteks hubungan islam dan Negara dalam frame keindonesiaan, PMII berpandangan
bahwa islam mesti diletakkan sebagai bagian yang tkdak dapat terpisahkan
denngan wawasan kebangsaan. Perjuangan islam mesti terintegrasi dalam
perjuangan kebangsaan. Ini bukan berarti sub-ordinasi islam pada Negara,
melainkan menempatkan nilai-nilai keislaman sebagai roh dari nilai kebangsaan
dengan menitikberatkan corak lokal pemahaman ke-islaman dengan karakter
keindonesiaan. Resultante-Nya, PMII menerima pluralism dan demokrasi sebagai
prasyarat bagi penerimaannya logika nation-state NKRI tanpa terjebak
ikut-ikutan gerakan memperjuangkan masuknya islam sebagai konstitusi Negara
seperti dilakukan oleh kelompok islam modernis.
Dalam hal
gerakan social-politiknya, PMII mengkonsentrasikan dirinya pada gerakan
cultural-transformatif melalui proses penyandaran dan empowering masyarakat dan
warganya sekaligus menolak hegemoni Negara sebgi bentuk komitmen PMII terhadap
demokrasi dan terbentuknya masyarakat sipil. Pndangan ini membawa PMII menjadi
entitas yang non-permisif atas kekuatan Negara. Artinya, PMII tidak hanya
memposisikan dirinya sebagai motor
counter atas hegemoni Negara (pemerintah), namun juga bisa menerima
kebijakan-kebijakan mereka yang dirasa menguntungkan tegaknya civil society,
supremasi sipil dan demokrasi. Akhrnya, keberhasilan PMII mewujudkan paradigma
Kritis-Transformatif sebagai landasan gerakannya, banayak dinilai sebagai
“magnum opus” organisasi didalam mengemban fungsin kekhalifahannya dimuka bumi.
Menjadikan
kampus sebagai kantong perubahan
Pandangan
konservatif tentang kampus selalu menempatkan kampus sebagai “rumah kehidupan
ilmiah” dengan karakteristik utama liberasi pemikiran, bergagas, kretifitas,
argumentative, dan melihat jauh kedepan sembari mencari manfaat praktis dari
suatu ide ataupun penemuan. Gambaran klasik ini mewakili kehidupan dinegara
berkembang khususnya di Indonesia yang sangat bertumpu pada kehidupan akademik.
Sekalipun
kehidupan kampus di Indonesia telah berlangsung lebih dari 13 dekade, namun
pandangan diatas telah menggiring dialektika intelektual kampus dengan
lingkungannya (masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan diatasnya) pada
dua kemungkinan pokok. Pertama, kampus mengambil prakarsa lewat penawaran
karya, gerakan revormasi dan restorasi kondisi masyarakat hingga hingga pada
gerakan politik. Dan kedua, kampus bersifat pasif, menunggu stimulus dari luar,
tempat penampungan dan memberikan reaksi atas inisiatif pihak luar dengan
konsekuensi kampus dijadikan arena pertarungan kekuatan politik atau partner
tak sederajatoleh pihak birokrasi Negara dalam bingkai etatisme Negara.
Keduanya
membawa implikasi dan konsekuensi tersendiri. Kemungkinan pertama akan
meletakkan kampus sebagai salah satu lokomotif perubahan, penyedia resources
bagi masyarakkat dalam membangun bangsa. Gerak nafas kampus akan selalu
mewarnai laju perubahan yang diinginkan. Konsekuensinya, semua pihak harus
mengakui peran politik mahasiswa dan akademikus.
Kedua,
realitas kampus harus merupakan recourse politik, dikampus banyak sekali stock
potensi pemimpin dan keahlian. Ratusan tokoh dan pemimpin bangsa Indonesia
lahir dari kawah candradimuka kampus. Bahkan, beberapa pentolan angkatan ’66 dan
’98 mengatakan hal yang sama,, bahwa perubahan bangsa yang besar ini selalu
dimulai dari kampus. Lebih lanjut mereka meyakini bahwa “kematian” kehidupan
kampus adalah awal dari kehancuran bangsa. Agak berlebihan memeng, namun
pernyataan itu lahir dari salah satu sebuah padegogik yang cukup mencengangkan,
bahwa jika sebuah masyarakat menginginkan kemajuan, kesejateraan, keadilan
bahkan kejayaan, maka dirikanlah kampus.
Ketiga,
watak kemandirian kampus yang tumbuh dari budaya ilmiah dan cara berfikir kritis,
member energi besar warga kampus untuk menilai realitas disekitarnya. Sementara
itu pemerintah (state) sebagai sentrum aktifitas kehidupan masyarakat, juga
tidak lepas dari perhatian kampus. Kondisi inilah yang kemudian menjadikan
kampus sering kali berhadapan dengan kebijakan pemerintah, karenanya birokrasi
(khususnya dinegara berkembang) sering melakukan intervensi kedalam kampus.
Intervensi itu akan semakin membesar dan kadangkala memasung kehidupan kampus,
jika kemudian kampus melahirkan gerakan kritis yang berusaha memperbaiki
kehidupan masyrakat.
Akibat
keteledoran kebijakan pemeintah. Bahkan, mulai dari orde lama sampai orde baru
hingga ssekarang ini, kampus belum pernah bebas dari intervensi politik, baik
dari kelas penguasa ataupun kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan
lainnya. Posisi dan peran strategis kampus inilah yang oleh PMII mesti tidak
boleh di sia-siakan, bukan sekedar “papan nama” PMII tercantum didepan nama
sebuah kampus, “PMII Komisariat Universitas/Sekolah tinggi/Intitut, Swasta
ataupun negeri”. Lebih dari itu, para kadernya, idealismenya, program
perjuangannya harus bisa menjadi “Nafas Kehidupan” kampus dimanapun ia berada.
Tidaklah mudah mewujudkan hal itu, perlu usaha keras yang sistematik dan
terorganisir serta kerjasama “Sehati” mulai dari para Alumni, Pengurus Besar
(PB), Pengurus Koordinator Cabang (PKC), Pengurus Cabang (PC), Komisariat
hingga Rayon. Tulisan tersebut juga tidak dimaksudkan menawarkan solusi ideal
untuk permasalahan diatas, namun mungkin cukup untuk diungkapkan disini sebagai
salah satu bentuk kepedulian penulis yang selama ini merasa dibesarkan oleh
PMII.
Strategi
operasional pengembangan PMII di kampus memang selama ini cukup beragam,
tergantung Local Condition dan Local Culture dimana Perguruan
Tinggi tersebut berada. Di Jawa Timur, Jawa Tengah, mungkin juga Yogyakarta
serta dikampus yang sebagian besar masyarakatnya adalah NU, tidak memiliki
kesulitan cukup berarti dalam merekrut anggota baru, biasanya mereka hanya
menawarkan bahwa PMII itu merupakan satu-satunya organisasi kemahasiswaan yang
paling dekat (Historis dan Kultural) dengan NU. Bahkan dibeberapa Perguruan
Tinggi yang milik (orang) NU, PMII justru menjadi satu-satunya penguasa kampus,
ekstra maupun intra instituer. Namun, hal ini tidak berlaku di- daerah-daerah
yang bukan basis NU.
Tradisi yang
berkembang selama ini ditubuh PMII dalam upaya memperoleh simpati mahasiswa dan
mewarnai kehidupan kampus, tidak beda jauh dengan apa yang di-Pattern-kan Bang
Muhyiddin diatas, yakni keharusan Kader PMII ber-Indeks Prestasi tinggi, setiap
kader harus berprestasi dan menduduki pos-pos strategis dilembaga
kemahasiswaan. Disamping itu, PMII juga harus meningkatkan intensitas dalam
melakukan dialog-dialog kualitatif dengan lembaga kemahasiswaan intra-intituer,
serta secara rutin menyajikan kegiatan-kegiatan kreatif yang mampu mengundang
simpati mahasiswa. Strategi operasional ini bagus, akan tetapi belum cukup,
sebab dinamika perubahan masyarakat semakin mengalami percepatan seiring dengan
kemajuan teknologi dan informasi dunia. Oleh karena itu, disamping terus
konsisten menerapkan strategi pengembangan diatas, PMII harus mulai
memperhatikan dan menimbang beberapa hal berikut ini.
Pertama,
yang harus dilakukan PMII adalah mendekonstruksi kembali antologi (hakikat)
Perguruan Tinggi di Indonesia, posisi dan perannya dalam bangunan besar
Indonesia Raya, eksistensi dan urgensinya terhadap kapitalisme global, serta
relasinya dengan kekuasaan dan demokrasi. Salah satu hal yang cukup
menggelisahkan banyak mahasiswa adalah tumbuhnya kesadaran baru bahwa kampus
tidak lebih hanyalah menjadi alat (media) bagi Negara dan kekuatan global untuk
menyediakan tenaga terdidik (ahli) bagi
‘seribu’ proyek buatan mereka. Namun, hamper mayoritas masyarakat kampus
juga mengerti, bahwa kampus juga merupakan kantong utama “pencipta tokoh” yang
dapat merubah bangsa ini menjemput keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan
senafas dengan cita-cita perjuangan nasional yang termaktub dalam preambule UUD
Negara kita.
Oleh karena
itu, jika PMII melakukan gerakan missal untuk menggelorakan “antologi kampus”
seperti pemikiran yang terakhir, dengan kembali membuka free public sphere
dimana seluruh masyarakat kampus khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya
memposisikan kampus sebagai pusat pembebasan, perubahan, transformasi dan
demokratisasi dan bukan sebagai “budak” Negara ataupun “kekuasaan modal”
langkah sederhana untuk memulainya adalah membangun kritisme kampus dengan
mengintegritaskan kepentingan serta kebutuhan kampus dengan kepentingan dan kebutuhan
masyarakat. Strategi taktis operasioanal adalah dengan mengintruksikan Pengurus
Komisariat disebuah kampus dimana PMII didirikan, untuk membuka dialog intensif
yang kualitatif dengan segenap civitas akademika. Baik itu untuk membedah
muatan kurikulumnya, model pengajaran, peningkatan skill mahasiswa, hingga
master plan kampus itu kedepan. Sembari PMII mendekatkan masyarakat sekitar
kampus dengan kampus, sehingga ini akan melunturkan prejudice mitos “menara
gading”.
Kedua, PMII
harus merebut “rung publik” dikampus dengan melakukan pembongkaran beban
historis, kejumudan tradisi dan konsevatisme perguruan tinggi. Kemandirian
kampus dalam era otonomi daerah dan perdaganggan global merupakan prrasyarat
utama tegaknya integritas kampus dalam upaya pemanusiaan manusia (humanisasi).
Jika PMII
ditingkat Komisariat mampu mengkonsolidasikan segenap potensi yang dimiliki,
termasuk para alumninya untuk memulai membuka selubung konservatisme, beban sejarah dan tradisi yang menghinggapi
kampus, maka hal ini menjadi pintu masuk PMII untuk memperoleh simpati dari
mahasiswa.
Untuk ini,
PMII bisa berangkat dari hal-hal kecil yang mampu mengurai satu-persatu
problematika kampus tanpa bermaksud mengintervensi kedaulatan dan kebijakan
kampus. Hal kecil ini bisa berupa partisipasi aktif kader kampus diseluruh
kegiatan kampus, disiplin dalam kuliah, memanfaatkan (memenuhi) perpustakaan,
menjaga kebersihan (keasrian) hingga kampus merasa bahwa PMII adalah bagian
tidak terpisahkan dari kampus. Karena itu, pemahaman (apresiasi) yang tinggi
atas local historis mapun local culture kampus akan memudahkan PMII memerankan
hal-hal kecil yang sederhana, bukan dengan hal-hal besar yang terlalu makro dan
tidak ada hubungannya (dampak kongkrit) sama sekali dengan kampus.
Ketiga, PMII
menyiapkan “kelompok strategis” sebagai pelopor dan pengobar semangatperubahan
dikampus, sekaligus melakukan pembenahan aspek kognitif, mental dan prilaku
kader serta alumnidemi memperluas sayap gerakan diseluruh perguruan tinggi. Apa
yang telah terurai diatas, tidak akan pernah bisa dilakukan, jika PMII tidak
menciptakan terlebih dahulu sebuah “kelompok strategis” yang terdiri dari kader
yang mamiliki intelektualitas tinggi dengan jumlah yang sesuai rasio mahasiswa
dikampus. Kader-kader yang terpilih itu didiklalt secara khusus dengan waktu dan metode khusus
(agak ekslusif) oleh komisariat sehingga memiliki kualifikasi sebagai kader
yang ideologis, bermetal baja, selalu haus akan ilmu pengetahuan, progresif
seta memiliki integritas moral tinggi. Setelah mereka diiarahkan untuk mulai
terjun aktif diberbagai aktifitas kampus beseta seluruh pergualatan kegiatan
apapun yang terjadi didalamnya dengan membawa segenap idelisme, paradigm dan
program-program PMII menjadi bagian yang karib dengan dinamika kampus. Mereka
inilah yang akan menjadi motor PMII untuk melakukan kerja-kerja diatas,
sehingga mereka akan menarik banyak mahaisiswa untuk turut mengusung paradigma
PMII tersebut dengan tanpa beban lagi.
Logika
penciptaan “kelompok Strategis” diatas bertumpu pada strategi kaderisasi dari
bawah keatas (bottom Up). Dengan terciptanya “kelompok strategis” disetiap
komisariat dengan jumlah satu kelompoknya 10 orang, kalau kemudian disebuah
cabang diambil rata-rata memiliki 4 komisariat, maka disetiap 1 cabang akan terdapat
40 kader ideologis dan pejuang tangguh PMII. Kalau jumlah cabang PMII ada
150-an, maka sudah mempunyai 6000 orang kader ideologis.
Bayangkan
kalau PB kedepan melakukan model pengkaderan seperti ini, maka ditubuh PMII
akan tersedia motor-motor penggerak organisasi yang mampu menyuarakan dan
pembumian segenap nilai-nilai, ideology dan paradigm PMII tanpa harus berfikir
reward yang harus diterimanya, sebab konsepsi reward bagi kader ideologis itu
adalah kebanggan yang tersematkan oleh public sebagai “the director of change”
para pengarah (penentu) perubahan, bukan lagi sekedar “agent of change” agen
perubahan yang setelah usai tugasnya,
kemudian dilupakan orang (ditinggal) dalam proses perubahan yang lebih
besar selanjutnya.
Model
pengkaderan seperti ini bukannya tanpa resiko, sebab pola pengaturan yang salah
akan mengakibatkan kelompok strategis ini akan menjadi kelompok ekslusif,
merasa paling intelek, ideologis dan ‘berjasa’ pada organisasi. Ekslusifisme
harus dihilangkan dari tubuh organisasi dan mind setiap kader PMII, sebab sikap
inilah yang akan mengkerdilkan PMII. Oleh karena itu, PMII harus benar-benar
melakukan penyaringan yang ketat dan tidak asal pilih kader, kemudian mereka
besedia dibai’at untuk selalu patuh pada nilai-nilai dan ideologi PMII, bukan
pada person-person pimpinannya. Kalaupun mereka harus petuh pada pimpinannya,
itu sudah barang tentu keluar dari kesadaran mereka akan amanat konstitusi,
bukan karena patron-clien.
Selanjutnya,
keberadaan kelompok strategis ini bukan untuk menomer duakan kader yang lain,
justru keberadaan mereka diperuntutkan men-stimulus kritisme, progresifitas dan
pendigdayaan kader, bukan malah sebaliknya untuk menjadikan organisasi dan
kader-kader PMII lainnya sebagai tangga bagi mereka untuk memperoleh keuntungan
politis. Kalau seluruh proposisi diatas tidak tercapai, maka keberadaan
‘kelompok strategis’ ini patut dipertimbangkan.
MARS PMII
Inilah Kami Wahai Indonesia
Satu Barisan dan Satu Cita
Pembela Bangsa Penegak Agama
Tangan Terkepal dan Maju Kemuka
Habislah Sudah Masa yang Suram
Selesai Sudah Derita yang Lama
Bangsa yang Jaya, Islam yang Benar
Bangun Tersentak dari Bumiku Subur
Reff*
Denganmu PMII, Pergerakanku
Ilmu dan Bakti Kuberikan
Adil dan Makmur Kuperjuangkan
Untukmu Satu Tanah Airku, Untukmu Satu Keyakinanku
Inilah Kami Wahai Indonesia
Satu Angkatan dan Satu Jiwa
Putera Bangsa Bebas Merdeka
Tangan Terkepal dan Maju Kemuka
Denganmu PMII, Pergerakanku
Ilmu dan Bakti Kuberikan
Adil dan Makmur Kuperjuangkan
Untukmu Satu Tanah Airku, Untukmu Satu Keyakinanku