Kamis, 09 Juli 2015

Kaderisasi PMII Dikampus Umum


“Hanya melalui kesatuan bangunan dalam bingkai organisasi yang utuhlah, proses kaderisasi pada setiap jenjang level pengkaderan akan berjalan maksimal serta mampu memberikan jawaban akan kebutuhan dan permasalahan pengkaderan dewasa ini”

Idiom diatas barangkali dapat dijadikan renungan dan evaluasi bersama akan pentingnya percepatan perubahan dan penyesuaian terhadap tantangan kondisi dinamika masyarakat kekinian baik ditingkatan lokal, regional maupun nasional yang menuntut PMII untuk selalu mencari, memikirkan, dan membuat bangunan formulasi baru dan tepat terhadap kaderisasi dalam konteks adaptasi perubahan. Kondisi ini menuntut PMII untuk selalu membangun solidaritas internal sebagai upaya untuk mewujudkan bangunan kaderisasi yang kokoh, sebagai bagian dari jawaban PMII terhadap tantangan perubahan tersebut.

Forum pertemuan kaderisasi nasional yang diadakan PB PMII pada awal tahun 2012 lalu, memberikan sebuah gambaran terhadap kondisi warga pergerakan dalam potret kaderisasi serta kontribusi output yang dihasilkan dewasa ini. Bidang Kaderisasi PB PMII pada saat itu menyampaikan bahwa PMII belum mampu menjawab tantangan yang hadir ditengah-tengah masyarakat. Ditengah-tengah berkembang pesatnya pembangunan dan tuntutan perubahan ditengah masyarakat dewasa ini, kader-kader PMII belum mampu mengisi ruang-ruang kosong dalam merebut perubahan terebut.

Tantangan ini yang harus mampu ditangkap oleh setiap kader, agar pada saatnya nanti PMII tidak tertinggal oleh perubahan, dimana sebagaimana hal tersebut selalu hadir sebagai sebuah jawaban atas keluhan kader dalam setiap periode kepengurusan ditingkatan rayon, komisariat, maupun cabang nantinya. Sebab jika kita potret lebih dalam lagi masih banyak ruang-ruang yang seharusnya mampu diisi oleh kader-kader PMII melalui proses kaderisasi yang terkonsep dan berjenjang.

Produk serta formulasi kaderisasi PMII yang telah terkesima dengan sistematis dan konseptual belum mampu diterjemahkan dan dipahami secara tuntas oleh kader-kader yang memiliki tanggung jawab dalam setiap proses kaderisasi pada tingkatan level organisasi di PMII. Sehingga dewasa ini yang sering terjadi pada tataran basis kader adalah semangat militansi dan loyalitas kader terkesan semu dan tak terarah, yang disebabkan oleh kurang maksimalnya transformasi dan internalisasi nilai-nilai ke PMII an pada kader melalui formulasi kaderisasi yang ada.

Problem kaderisasi yang dewasa ini masih kurang terjamah oleh desain kaderisasi adalah bagaimana pola pengkaderan dapat memberikan ruang sebagai media aktualisasi bagi anggota, kader dan mereka yang telah purna/pasca sebagai pengurus PMII. Sering kali pada beberapa kepengurusan di tingkatan rayon, komisariat dan cabang belum terdapat desain yang sinergis serta mampu mengakomodir kepentingan kaderisasi.

Berangkat dari bangunan history dan filosofis berdirinya lembaga pendidikan di suatu wilayah, mahasiswa sebagai bagian civitas akademika yang berada didalamnya harus mampu memberikan kebermanfaatan melalui output yang dihasilkan dari sayap-sayap keilmuan fakultatifnya dengan kajian ilmiah dan pendampingan pada masyarakat secara berkelanjutan. Sebagai bentuk pengabdian pada masyarakat dan tanggung jawab keilmuan mahasiswa pada perubahan dan kontrol sosial.

Mahasiswa dan PMII merupakan bagian yang saling berkaitan dan tak terpisahkan. Sebab berawal dari mahasiswalah kita mengenal dan menjadi kader PMII serta berangkat dari ruang-ruang ilmiah dibangku kuliahlah kita diperkenalkan oleh berbagai khasanah wawasan sebagai bekal keilmuan dan modal pengembangan sayap gerakan serta kaderisasi. Input inilah yang nantinya harus mampu diolah dan dimaksimalkan melalui konsepsi dan formulasi kaderisasi yang telah terskema dengan sistematis agar output kader dan alumni yang dihasilkan nantinya mampu memiliki andil dalam menjaga eksistensi organisasi dan penguatan sayap-sayap gerakan untuk mengisi dan merebut ruang-ruang perubahan dalam menciptakan civil society.

Kaderisasi dikampus umum

Model dan formulasi kaderisasi yang dilaksanakan pada proses internalisasi nilai dan pembentukan karakter kader PMII pada level basis kader memiliki karakteristik dan kultur yang berbeda-beda menyesuaikan dengan kondisi lingkungan dan tipologi karakter mahasiswa pada tingkatan lembaga serta fakultatif tertentu. Tahapan mengurai dan menganalisa lebih dalam ini pada akhirnya nanti akan membantu pengurus pada tiap level lembaga dalam menentukan metode, saluran dan arahan output yang ingin dicapai melalui proses kaderisasi tersebut.

Berangkat dari kompleksitas kondisi tersebut, metode kaderisasi yang dijalankan sahabat-sahabat pengurus rayon maupun komisariat memiliki kultur karakteristik dan tantangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan yang ada pada kampus-kampus yang berlatar belakang Islam. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi sahabat-sahabat pengurus untuk lebih inovatif dan progresif dalam menjalankan agenda kaderisasi pada setiap lembaganya.

Kekayaan bidang kajian keilmuan yang terdapat dikampus umum, dengan hadirnya bermacam fakultatif keilmuan yang beragam dan secara khusus mempelajari disiplin ilmu tertentu sebaiknya dapat dijadikan modal dasar pengurus untuk dapat memaksimalkan potensi fakultatif tersebut melalui pemetaan dan program pengembangan potensi akademik kader agar dapat dimaksimalkan pada ruang-ruang implementasi keilmuan yang terdapat ditiap jenjang lembaga.

Pengembangan potensi-potensi tersebut diatas akan mampu dijadikan salah satu ruang implementasi nilai yang didapat pada proses pengkaderan di PMII melalui lembaga-lembaga akademik maupun minat bakat kemahasiswaan yang berada di kampus.

Selain dari pada itu, penanaman nilai-nilai keIslaman dan pemahaman akan kePMIIan harus mampu disesuaikan dengan porsinya melalui ruang kaderisasi non formal dan ruang-ruang kultural yang ada. Sehingga pemahaman akan nilai-nilai tersebut dapat tersampaikan secara kontekstual maupun tekstual dan akan lebih lunak penyampaian juga pemahamannya serambi mengatur ritme pengkaderan pada tingkatan yang selanjutnya.

Berawal dari bangunan tersebut, PMII pada akhirnya akan mampu menjawab tantangan yang hadir dalam konteks kekinian dengan pergeseran pola pikir dan tingkah laku mahasiswa terhadap pemahaman pentingnya berorganisasi, dengan memberikan jawaban atas kebutuhan mahasiswa.
                                                                                    
Menemukan formulasi kaderisasi

Heterogennya latar belakang kultural mahasiswa di kampus umum serta academic regulations yang ada menjadi tantangan tersendiri bagi PMII dikampus umum agar tetap mampu bertahan ditengah-tengah masyarakat kampus yang beragam. Kampus sebagai salah satu akses kader untuk survive pada keilmuan menjadi sebuah bagian keniscayaan tersendiri. Diruang keilmuan formal tersebut kader akan mendapatkan akses keilmuan yang sekiranya tak didapatkan pada ruang informal.

Keberadaan PMII kampus umum di Indonesia telah banyak berkembang. Secara kuantitas pun kader-kader PMII  dikampus umum (Unej, UB, UGM, UI, dsb) telah tersebar dan telah memiliki alumni yang tersebar ditengah-tengah masyarakat. Alumni yang tercetak melalui pendidikan formal dibangku perkuliahan dan melalui proses penanaman nilai pada proses pengkaderan di PMII pun juga tak kalah besar secar kuantitas maupun kualitas. Hal ini harus dapat di manfaatkan sebagai ruang untuk membangun akses pengembangan output yang dihasilkan pada proses kaderisasi di PMII agar mampu mengisi ruang-ruang pengabdian dimasyarakat kelak.

Pencapaian kuantitas anggota tersebut tidak terlepas dari strategi dan metode penjaringan anggota yang digunakan meskipun dalam perjalanannya terdapat sedikit ketimpangan secara kuantitas yang seharusnya bisa diminimalisir dengan kematangan konsep taktis skematik yang mampu ditransformasikan pada tiap lembaga. Kelemahan mendasar tersebut membuat ketimpangan kuantitas anggota terjadi pada lembaga-lembaga lainnya. Sehingga diperlukan soliditas organ sebagai prasyarat utama agar terbentuk pemahaman yang masif terhadap metode kaderisasi pada tahapan mapaba.

Jejang persiapan dan pendampingan tersebut nantinya akan berlanjut pada tahapan pendidikan formal Mapaba dan tindak lanjutnya pada pra mapabanya. Sehingga dengan metode ini pengurus mampu memaksimalkan ruang kaderisasi di rayon maupun komisariat untuk mengatur ritme tahapan pendampingan terhadap anggota berupa penanaman ideologisasi terhadap anggota. Selain itu pula seleksi dan bentuk pendampingan pada awal proses pengenalan terhadap PMII ini pada akhirnya akan menciptakan kader yang memiliki totalitas sebagai anggota PMII.

Kajian dan diskusi ringan kaderisasi selalu menarik dan tak akan ada habisnya untuk dibicarakan. Sebab melalui saluran dan pemahaman inilah eksistensi organisasi akan tetap terus terjaga. Wacana tentang hal tersebut sering hadir pada ruang-ruang diskusi formal maupun non formal.

Membentuk bangunan kelembagaan kaderisasi

Kekuatan dan kebesaran institusi kelembagaan PMII di kampus umum secara basis keanggotaan, secara niscaya tak akan memberikan kebermanfaatan dalam konteks kaderisasi tanpa adanya kesadaran bersama akan pemahaman dan tanggung jawab kelembagaan terhadap pengawalan setiap proses pengkaderan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa konsepsi yang matang menjadi sesuatu yang urgent dalam pengkaderan. Sebab berangkat dari hal itulah arahan kaderisasi dapat ditentukan, akan diarahkan dan dibawa kemana proses kaderisasi yang telah kita berikan pada para anggota dan kader pada setiap level lembaga. Pemahaman atas tanggung jawab kaderisasi pun selayaknya harus berangkat dari bangunan pemahaman akan pentingnya argumentasi kaderisasi pada individu personal maupun kelembagaan dalam melangsungkan proses kaderisasi.

Berbicara tentang pemahaman atas argumentasi kederisasi diatas, yang harus mampu secara tuntas dipahami dan dimengerti oleh setiap pengkader, disini akan sedikit dihadirkan pemahaman akan hal tersebut. Argumentasi kaderisasi merupakan sebuah bentuk pemahaman atas apa yang mendasari kita melakukan proses kaderisasi. 

Terdapat 5 argumentasi kaderisasi yaitu:
1.    argumentasi idealis yakni sebuah bentuk pewarisan nilai-nilai.
2.    argumentasi strategis sebagai bentuk optimalisasi potensi kader.
3.    berikutnya argumentasi praksis yakni kepentingan untuk memperbanyak anggota.
4.    selanjutnya argumentasi pragmatis dalam kaitannya dengan eksistensi organisasi.
5.    dan yang terakhir argumentasi administratif yaitu menjalankan mandat organisasi.

Dewasa ini pemahaman akan argumentasi kaderisasi tersebut belum mampu secara masif dipaham oleh para pengurus dan kader yang memiliki tanggung jawab untuk mengkader. Padahal argumentasi tersebut menjadi hal dasar yang semestinya telah dimengerti oleh setiap diri pengkader.

Berangkat dari hal tersebut diatas, dalam proses berjalannya roda organisasi pada level lembaga rayon masih sering dijumpai kesenjangan pemahaman akan konsepsi kaderisasi. Sehingga yang terjadi kesenjangan tersebut berefek pada kinerja kelambagaan tersebut yang tercermin dari jumlah kuantitas anggota dan kualitas kader yang ada didalam lembaga tersebut. Kondisi kesenjangan tersebut jika dibiarkan secara berlarut dapat mengancam eksistensi organisasi. 

Melihat realita kondisi kaderisasi yang belum terkonsep secara hierarki pada setiap jenjang level organisasi, dirasa perlu adanya bentuk pembagian wewenang dan tugas setiang elemen organisasi pada poros porsinya dalam mengawal proses kaderisasi pada setiap jenjangnya sebagai salah satu bentuk pengawalan yang masif dan konkrit pada konteks proses pengkaderan.

Berbicara mengenai pembagian wewenang dan tugas pengawalan kaderisasi tersebut dimaksudkan agar pada setiap level organisasi tertanam jelas haluan dan sistem pengkaderan yang terkonsep secara rapih dan sistematis. Dimanakah posisi cabang pada tingkatan kelembagaannya dalam mengawal kaderisasi, bagaimanakah peran dan porsi surveillance komisariat dalam memberikan arahan pengkaderan pada level dibawahnya, serta apa yang harus dilakukan rayon-rayon melalui ruang prosesnya yang ideal mampu melahirkan anggota dan kader yang loyal dan progresif.

Semoga, berangkat dari tulisan singkat ini, sahabat-sahabat sekalian dapat memetik beberapa point yang kemudian perlu untuk difikirkan dalam ruang diskusi transaksi gagasan yang membangun.

0 komentar:

Posting Komentar