Sabtu, 27 Agustus 2016

PMII SEBAGAI PUSAT KAJIAN DAN GERAKAN



Siapa yang tidak tahu keberadaan PMII sebagai organisasi ekstra kampus dan juga organisasi yang memiliki basis masa terbesar di indonesia dengan memiliki 235 jumlah cabang se-indonesia dan ditahun ini usia PMII genap 55 tahun pada tanggal 17 April 2016 sejak berdiri pada tahun 1960 mengabdi untuk negeri. Namun keberadaan PMII yang begitu besar tidak terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi,baik secara internal maupun eksternal PMII sendiri.tantangan bukanlah sebagai penghalang eksisnya PMII tapi harus dijadikan sebagai support agar tetap survive ditengah tengah kehidupan antropologi kampus dan masyarakat.
Tantangan besar PMII saat ini adalah penguatan kapasitas kader dan anggota PMII. Fakta hari ini minat untuk mengembangkan platfon organisasi PMII sebagaimana diketahui bahwa organisasi yang berlambang perisai ini adalah organisasi yang dikenal sebagai organ kaderisasi dan gerakan.
            Minimal harapan kedepan dengan kondisi PMII hari ini anggota dan kader harus bisa mengejawantahkan pemikiran-pemikiran gerakan nasional yang kekinian. Disisi lain itu juga organisasi kemahasiswaan bintang sembilah ini bukan hanya mengadopsi pemikiran issu-issu nasional, tetapi bagaimana anggota dan kader PMIIharus bisa survive didengan kondisi lokalitas masing-masing cabang ditiap-tiap kabupaten dan kota. Hasil yang diharapkan adalah anggota dan kader PMII bisa menjadi sentrum gerakan mahasiswa minimal dilingkungan kampus.
            Kondisi PMII saat ini harus bisa keluar dari kelemut semakin melemahnya gairah untuk bergerak, baik dalam gerakan pemikiran seperti diskusi-diskusi kecil dan mengaktualisasikan dari sebuah hasil pemikiran. Selain itu, pembangunan kader PMII kedepan dari level Rayon sampai dengan Cabang kita tidak pernah membuat skema baromater arah gerak yang jelas. Realitas organisasi kelihatannya tidak pernah mengindahkan 100% apa yang telah disepakati sejak kita duduk sebagai pengurus PMII. Kegiatan-kegiatan hanya lebih bersifat dadakan.
            Oleh karena itu, PMII kedepan minimal harus mempunyai alat ukur dari sebuah keberhasilan pengurus baik dari tingkatan Rayon, Komisariat sampai cabang. Sebab keberadaan PMII dari tingkatan yang paling atas tidak terlepas dengan keberadaan PMII yang ada ditingkatan grass-rote yaitu Rayon dan Komisariat. Disisi lain secara lokalitas bahwa PMII adalah awal dari emberio gerakan, Artinya bahwa PMII sebagai stocholder. Gerakan PMII harus tetap eksis menjadi sentrum gerakan baik dari gerakan kaderisasi dan gerakan sosial dilingkungan antropologi kampus dan masyarakat. Untuk mewujudkan pertahanan PMII sebagai mazhab sentrum gerakan.
Maka PMII sudah sepantasnya mulai berbenah diri, baik dari tingkat Rayon sampai dengan tingkatan Cabang. Dengan gerakan-gerakan pemikiran sebagai salah satu langkah untuk mencapai cita-cita PMII menjadi kader yang Ulul Albab., yang tidak harus mengutamakan kecerdasan berfikir, akan tetapi PMII  hari ini harus juga tetap menjaga tradisi-tradisi dan etika ke-islaman sebagaimana yang diamanahkan dalam Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII.
Sejarah Tumbuhnya Kritisme di PMII
Keberanian Aktivis PMII untuk mempertanyakan segala yang tersisa dari tradisi sangat dipengaruhi oleh sosok Gus Dur. Pola Fikir seperti ini kemudian jika ditarik garis kebelakang, akan menemukan akar kritisisme PMII dalam wilayah pemikiran. Keberhasilan Gus Dur mengangkat berbagai persoalan islan trdisi Indonesia (NU) dalam belantara diskursus kebudayaan, kebangsaan dan kepolitikan indonesia melalui tulisan-tulisan dan pikiran-pikiran menggugahnya diberbagai forum ilmiah (diskusi) telah mampu mengangkat kepercayaan diri para aktivis PMII saat itu (yang masanya mulai tersebar juga dikampus-kampus umum dan negeri, tidak lagi terkonsentrasi dikampus atau perguruan tinggi islam).
Sejak itulah lembaran baru kritisme PMII tertoreh. Pada awal dasawarsa 70-an, PMII lebih disibukkan oleh pergulatan internal (penataan Organisasi) dalam usahanya melepaskan diri dari kungkungan historis, kultural dan ideologi dengan partai NU dan PPP. Sementara itu HMI telah memiliki seorang pemikir seperti Noecholis Madjid, dengan pemikiran neo-modernisnya mampu mengangkat Ghirah kawan-kawan HMI lainnya dalam perambahan intelektual mereka yang memang anggotanya tersebar diberbagai kampus umum dan agama baik negeri maupun swasta. Jargon Cak Nur “Islam Yes Partai Islam no”, sekaligus mengusung pemikiran Fazlur Rahman (serta pemikir muslim modern lainnya) dalam wawancara islam indonesia diparuh kedua dekade 70-an membawa inspirasi pada kader HMI mengklaim dirinya dalam barisan kelompok islam neo-modernis di Indonesia. Kebanggan HMI terhadap Cak Nur diakhir 70-an akhirnya “tertandingi” juga oleh PMII yang tidak “rikuh” malah agak “bangga” dituding sebagai penganut dan penyebar pemikiran tradisionalisme radikal (meminjam istilah nakamura) dan ide gerakan kulturalnya Gus Dur di awal 80-an. apalagi Gus Dur memegang jabatan Ketua Umum PBNU dimana sepak terjangnya mampu mengelakkan segala hal yang berbau serba negara (peretas budaya perlawanan dan oposan Orde baru). Radikalitas pemikiran aktivis PMII semakin berkembang pesat dan memperoleh payung perlindungan dari keberatan para kyai “konservatif” NU yang menganggap bahwa radikalitas pemikiran PMII yang mulai mempersoalkan dogma dan cara berfikir masyarakat NU yang “jumud” dan diwarnai dengan penerimaan penuh atas tradisi tanpa reserve itu sudah keluar dari pakem islam tradisional mahbub Djunaidi dan Masdar Farid Mas’udiadalah produk dari dasawarsa 80-an ini.
Radilkalitas pemikiran PMII semakin menjamur seperti cendawan dimusim hujan pada dekade 90-an. Liberaliasasi pemikiran itu tidak hanya terbatas pada pembaharuan pemikiran ke-islaman semata, bahkan hingga pada corak pemikiran kebangsaan dan cara pandang mereka atas negara dan realitas sosial. Dasawarsa ini melahirkan sosok intelektual PMII seperti Ulil Absar Abdalla, Mun’im Dz, Ahmad Baso dan lain sebagainya.
Politik kampus adalah politik moral yang sangat berbeda dengan kekuatan politik praktis lainnya. Arif Budiman mempersonifikasikan peranperan itu dengan sosok “resi”, yakni sebagai pihak yang selalu mengabarkan kepada rakyat untuk bergerak bersamamelakukan pengatasan dan ketika huru-hara tersebut tertangani, maka segenap elemen kampus tersebut kembali lagi kepertapaannya (kampus) untuk melanjutkan lagi tugas utama menuntut ilmu dan memproduksi agen-agen perubahan yang siap bertarus ditengah masyarakat.
Sedangkan kemungkinan kedua akan mengakibatkan kampus harus bersedia memberikan sebagian ruang dirinya untuk diintervensi oleh berbagai kekuatan politik yang ada. Besar kecilnya pengaruh politik itu sangat tergantung dengan kekuatan kampus dalam menanamkan paradigma dan etos kepada seluruh civitas akademika agar ridak mudah terprovokasi oleh tipu daya politik.
Relitas kampus seperti diatas itulah mestri diperhatikan benar oleh PMII, sebab tanpa kampus PMII juga akan kehilang eksistensi dan perannya. Oleh karena itu, menjadikan kampus sebagi kantong perjaungan adalah sebuah keharusan yang tidak terbantahkan. Seluruh aktivis PMII mesti mengingat benar bahwa masa depan sebagian besar rakyat indonesiabelum menjadi bagian yang pasti, tetapi tanpa melalui jalan menjadi mahasiswa jauh lebih parah. Hal ini melukiskan betapa sangat strategisnya posisi menjadi mahasiswa.
Minimal ada tiga alas an mengapa PMII harus menjadikan kampus sebagai basis gerakan. pertama, kampus senantiasa berupaya merealisasikan peranannya sebagi pembaharu dan pelopor (perangsang) bagi perbaikan kondisi kehidupan masyarakat. Siapapun tidak akan menyangkal, jika gagasan-gagasan perubahan diindonesia (hampir) selalu dimotori atau lahir dari dalam kampus, baik zaman pergerakan nasional hingga reformasi kemaren.
Inilah yang menyebabkan keterlibatan kampus dalam kehidupan politik, karena berbagai tawaran atau usaha pembaharuan tersebut terkait dengan struktur kekuasaan. Pergualatan intens aktivis PMII Dengan (pemikiran) Gus Dur dan berbagai pemikiran-pemikiran baru islam diluar mainstream pemikiran islam modernis (neo-modernis) seperti Jamaluddin Al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, Sayyid Muhammad Khan, hingga Al-Maududi telah mampu meletakkan organisasi kader berbasis massa tradisional ini mengalami loncatan yang jauh daripada organisasi kemahasiswaan atau kepemudaan Indonesia.
Pemikiran ke-islaman Indonesia yang selamaini lebih mewarnai dengan corak pemikiran modernism Islam, Lambatlaun mulai tersaing dengan lahirnya generasi baru pemikir muda NU (yang dimotori oleh PMII) mengusung corak pemikiran pembaharuan pemahaman ke-islaman liberal yang banyak depengaruhi oleh pemikiran-pemikiran kiri islam-nya Hassan Hanafi, kritik nalar islamnya Arkoun, syari’ah demokratiknya Mahmoed Thoha, dekonstruksi Syari’ahnya Ahmed An-Na’im, teologi pembebasannya Ali Asghar, kritik ushul Fiqh-Nya Nasr Abu Zayd, hingga post-tradisionalisnya Abed Al-Jabari.
Sejak itu PMII telah dinyatakan telah mampu melakukan peramuan tradisinya dengan corak pemahaman yang terbuka (tidak saklek) bagi masuknya perspektif diluar islam. Anti ortodoksi dan progresif sehingga mampu menghasilkan pemahaman ke-islaman PMII tidak lagi terbatas pada koridor aswaja melainkan mengalami lompatan jauh melampaui batas tradisionalismenya bahkan pada batas sangat liberal. Geliat corak pemikiran itu menjadikan PMII avent garde penolakan atas realitas ortodoksi para kyai yang memegang otoritas pemahaman keagamaan masyarakat islam tradisional, mengatasi standar lama dalam memandang Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber pemahaman, menghindari keterjebakan klaim oritatif pemahaman terhadap teks-teks nash sekaligus menafikan corak fundamentalisme pemikiran kaum modernis Islam Indonesia yang menjadikan islam sebagai sumber secara superior terhadap masyarakat Indonesia lainnya, utamanya yang bukan islam.
Corka pemikiran ke-islaman PMII diatas merupakan (respon) antitesa pola pembaharuan peikiran islam kelompok modernis yang mengusung simbolisme dan formalism pemahaman islam ataupun jargon Ijtihad dan kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Akibatnya, PMII menjadi sangat lekat dengan tema-tema pribumisasi Islam, penganjuran pluralis, toleransi, Islam sebagai etika social, isalam liberal, islam emansipatoris dan sangat anti dengan formalism islam yang sangat berorientasi pada penegakan syari’at islam sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks kebangsaan sosial-politik dan sosial-budaya persentuhan kretif aktivis PMII dengan berbagai pemikiran islam yang dianggap “kiri” diatas ditambah pergulatan dengan kelompok pemikir post-strukturalis dan post-modernisme perancis, ataupun Habermas, Ritzer, Karl Kooper, hingga para pemikir sekuler kiri, semacam Karl Marx, Gramsci, Freire hingga Che Geuvara telah membawa liberalism pemikiran sosial-kebangsaan islam tradisionalis khususnya. Situasi ini membawa PMII sangat karib dengan diskursus tentang Civil Society, Open Society, Free Market Ideas, masyarakat komunikatif dan demokratisasi. Hal mana dengan ini PMII mencoba membongkar dan menafsirkan kembali relitas social, kebangsaan dan ke-indonesiaan.
Akibatnya, wacana dan praktis social yang dibangun PMII menekankan pada perjuangan perwujudan demoktatisasi, anti kemapanan, pemberdayaan masyarakat, kemanusiaan universal, keadilan social dan menolak penyeragaman (de-politisasi), etatisme Negara, menolak politisasi islam maupun ide pendirian Negara islam Indonesia. PMII sejak era itulebih tertarik pada pemikiran-pemikiran gerakan kerakyatan, liberasi dan perjuangan kultural yang mengandung etos revolusioner dan transformasif.
Dalam konteks hubungan islam dan Negara dalam frame keindonesiaan, PMII berpandangan bahwa islam mesti diletakkan sebagai bagian yang tkdak dapat terpisahkan denngan wawasan kebangsaan. Perjuangan islam mesti terintegrasi dalam perjuangan kebangsaan. Ini bukan berarti sub-ordinasi islam pada Negara, melainkan menempatkan nilai-nilai keislaman sebagai roh dari nilai kebangsaan dengan menitikberatkan corak lokal pemahaman ke-islaman dengan karakter keindonesiaan. Resultante-Nya, PMII menerima pluralism dan demokrasi sebagai prasyarat bagi penerimaannya logika nation-state NKRI tanpa terjebak ikut-ikutan gerakan memperjuangkan masuknya islam sebagai konstitusi Negara seperti dilakukan oleh kelompok islam modernis.
Dalam hal gerakan social-politiknya, PMII mengkonsentrasikan dirinya pada gerakan cultural-transformatif melalui proses penyandaran dan empowering masyarakat dan warganya sekaligus menolak hegemoni Negara sebgi bentuk komitmen PMII terhadap demokrasi dan terbentuknya masyarakat sipil. Pndangan ini membawa PMII menjadi entitas yang non-permisif atas kekuatan Negara. Artinya, PMII tidak hanya memposisikan  dirinya sebagai motor counter atas hegemoni Negara (pemerintah), namun juga bisa menerima kebijakan-kebijakan mereka yang dirasa menguntungkan tegaknya civil society, supremasi sipil dan demokrasi. Akhrnya, keberhasilan PMII mewujudkan paradigma Kritis-Transformatif sebagai landasan gerakannya, banayak dinilai sebagai “magnum opus” organisasi didalam mengemban fungsin kekhalifahannya dimuka bumi.
Menjadikan kampus sebagai kantong perubahan
Pandangan konservatif tentang kampus selalu menempatkan kampus sebagai “rumah kehidupan ilmiah” dengan karakteristik utama liberasi pemikiran, bergagas, kretifitas, argumentative, dan melihat jauh kedepan sembari mencari manfaat praktis dari suatu ide ataupun penemuan. Gambaran klasik ini mewakili kehidupan dinegara berkembang khususnya di Indonesia yang sangat bertumpu pada kehidupan akademik.
Sekalipun kehidupan kampus di Indonesia telah berlangsung lebih dari 13 dekade, namun pandangan diatas telah menggiring dialektika intelektual kampus dengan lingkungannya (masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan diatasnya) pada dua kemungkinan pokok. Pertama, kampus mengambil prakarsa lewat penawaran karya, gerakan revormasi dan restorasi kondisi masyarakat hingga hingga pada gerakan politik. Dan kedua, kampus bersifat pasif, menunggu stimulus dari luar, tempat penampungan dan memberikan reaksi atas inisiatif pihak luar dengan konsekuensi kampus dijadikan arena pertarungan kekuatan politik atau partner tak sederajatoleh pihak birokrasi Negara dalam bingkai etatisme Negara.
Keduanya membawa implikasi dan konsekuensi tersendiri. Kemungkinan pertama akan meletakkan kampus sebagai salah satu lokomotif perubahan, penyedia resources bagi masyarakkat dalam membangun bangsa. Gerak nafas kampus akan selalu mewarnai laju perubahan yang diinginkan. Konsekuensinya, semua pihak harus mengakui peran politik mahasiswa dan akademikus.
Kedua, realitas kampus harus merupakan recourse politik, dikampus banyak sekali stock potensi pemimpin dan keahlian. Ratusan tokoh dan pemimpin bangsa Indonesia lahir dari kawah candradimuka kampus. Bahkan, beberapa pentolan angkatan ’66 dan ’98 mengatakan hal yang sama,, bahwa perubahan bangsa yang besar ini selalu dimulai dari kampus. Lebih lanjut mereka meyakini bahwa “kematian” kehidupan kampus adalah awal dari kehancuran bangsa. Agak berlebihan memeng, namun pernyataan itu lahir dari salah satu sebuah padegogik yang cukup mencengangkan, bahwa jika sebuah masyarakat menginginkan kemajuan, kesejateraan, keadilan bahkan kejayaan, maka dirikanlah kampus.
Ketiga, watak kemandirian kampus yang tumbuh dari budaya ilmiah dan cara berfikir kritis, member energi besar warga kampus untuk menilai realitas disekitarnya. Sementara itu pemerintah (state) sebagai sentrum aktifitas kehidupan masyarakat, juga tidak lepas dari perhatian kampus. Kondisi inilah yang kemudian menjadikan kampus sering kali berhadapan dengan kebijakan pemerintah, karenanya birokrasi (khususnya dinegara berkembang) sering melakukan intervensi kedalam kampus. Intervensi itu akan semakin membesar dan kadangkala memasung kehidupan kampus, jika kemudian kampus melahirkan gerakan kritis yang berusaha memperbaiki kehidupan masyrakat.
Akibat keteledoran kebijakan pemeintah. Bahkan, mulai dari orde lama sampai orde baru hingga ssekarang ini, kampus belum pernah bebas dari intervensi politik, baik dari kelas penguasa ataupun kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan lainnya. Posisi dan peran strategis kampus inilah yang oleh PMII mesti tidak boleh di sia-siakan, bukan sekedar “papan nama” PMII tercantum didepan nama sebuah kampus, “PMII Komisariat Universitas/Sekolah tinggi/Intitut, Swasta ataupun negeri”. Lebih dari itu, para kadernya, idealismenya, program perjuangannya harus bisa menjadi “Nafas Kehidupan” kampus dimanapun ia berada. Tidaklah mudah mewujudkan hal itu, perlu usaha keras yang sistematik dan terorganisir serta kerjasama “Sehati” mulai dari para Alumni, Pengurus Besar (PB), Pengurus Koordinator Cabang (PKC), Pengurus Cabang (PC), Komisariat hingga Rayon. Tulisan tersebut juga tidak dimaksudkan menawarkan solusi ideal untuk permasalahan diatas, namun mungkin cukup untuk diungkapkan disini sebagai salah satu bentuk kepedulian penulis yang selama ini merasa dibesarkan oleh PMII.
Strategi operasional pengembangan PMII di kampus memang selama ini cukup beragam, tergantung Local Condition dan Local Culture dimana Perguruan Tinggi tersebut berada. Di Jawa Timur, Jawa Tengah, mungkin juga Yogyakarta serta dikampus yang sebagian besar masyarakatnya adalah NU, tidak memiliki kesulitan cukup berarti dalam merekrut anggota baru, biasanya mereka hanya menawarkan bahwa PMII itu merupakan satu-satunya organisasi kemahasiswaan yang paling dekat (Historis dan Kultural) dengan NU. Bahkan dibeberapa Perguruan Tinggi yang milik (orang) NU, PMII justru menjadi satu-satunya penguasa kampus, ekstra maupun intra instituer. Namun, hal ini tidak berlaku di- daerah-daerah yang bukan basis NU.
Tradisi yang berkembang selama ini ditubuh PMII dalam upaya memperoleh simpati mahasiswa dan mewarnai kehidupan kampus, tidak beda jauh dengan apa yang di-Pattern-kan Bang Muhyiddin diatas, yakni keharusan Kader PMII ber-Indeks Prestasi tinggi, setiap kader harus berprestasi dan menduduki pos-pos strategis dilembaga kemahasiswaan. Disamping itu, PMII juga harus meningkatkan intensitas dalam melakukan dialog-dialog kualitatif dengan lembaga kemahasiswaan intra-intituer, serta secara rutin menyajikan kegiatan-kegiatan kreatif yang mampu mengundang simpati mahasiswa. Strategi operasional ini bagus, akan tetapi belum cukup, sebab dinamika perubahan masyarakat semakin mengalami percepatan seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi dunia. Oleh karena itu, disamping terus konsisten menerapkan strategi pengembangan diatas, PMII harus mulai memperhatikan dan menimbang beberapa hal berikut ini.
Pertama, yang harus dilakukan PMII adalah mendekonstruksi kembali antologi (hakikat) Perguruan Tinggi di Indonesia, posisi dan perannya dalam bangunan besar Indonesia Raya, eksistensi dan urgensinya terhadap kapitalisme global, serta relasinya dengan kekuasaan dan demokrasi. Salah satu hal yang cukup menggelisahkan banyak mahasiswa adalah tumbuhnya kesadaran baru bahwa kampus tidak lebih hanyalah menjadi alat (media) bagi Negara dan kekuatan global untuk menyediakan tenaga terdidik (ahli) bagi  ‘seribu’ proyek buatan mereka. Namun, hamper mayoritas masyarakat kampus juga mengerti, bahwa kampus juga merupakan kantong utama “pencipta tokoh” yang dapat merubah bangsa ini menjemput keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan senafas dengan cita-cita perjuangan nasional yang termaktub dalam preambule UUD Negara kita.
Oleh karena itu, jika PMII melakukan gerakan missal untuk menggelorakan “antologi kampus” seperti pemikiran yang terakhir, dengan kembali membuka free public sphere dimana seluruh masyarakat kampus khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya memposisikan kampus sebagai pusat pembebasan, perubahan, transformasi dan demokratisasi dan bukan sebagai “budak” Negara ataupun “kekuasaan modal” langkah sederhana untuk memulainya adalah membangun kritisme kampus dengan mengintegritaskan kepentingan serta kebutuhan kampus dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Strategi taktis operasioanal adalah dengan mengintruksikan Pengurus Komisariat disebuah kampus dimana PMII didirikan, untuk membuka dialog intensif yang kualitatif dengan segenap civitas akademika. Baik itu untuk membedah muatan kurikulumnya, model pengajaran, peningkatan skill mahasiswa, hingga master plan kampus itu kedepan. Sembari PMII mendekatkan masyarakat sekitar kampus dengan kampus, sehingga ini akan melunturkan prejudice mitos “menara gading”.
Kedua, PMII harus merebut “rung publik” dikampus dengan melakukan pembongkaran beban historis, kejumudan tradisi dan konsevatisme perguruan tinggi. Kemandirian kampus dalam era otonomi daerah dan perdaganggan global merupakan prrasyarat utama tegaknya integritas kampus dalam upaya pemanusiaan manusia (humanisasi).
Jika PMII ditingkat Komisariat mampu mengkonsolidasikan segenap potensi yang dimiliki, termasuk para alumninya untuk memulai membuka selubung konservatisme,  beban sejarah dan tradisi yang menghinggapi kampus, maka hal ini menjadi pintu masuk PMII untuk memperoleh simpati dari mahasiswa.
Untuk ini, PMII bisa berangkat dari hal-hal kecil yang mampu mengurai satu-persatu problematika kampus tanpa bermaksud mengintervensi kedaulatan dan kebijakan kampus. Hal kecil ini bisa berupa partisipasi aktif kader kampus diseluruh kegiatan kampus, disiplin dalam kuliah, memanfaatkan (memenuhi) perpustakaan, menjaga kebersihan (keasrian) hingga kampus merasa bahwa PMII adalah bagian tidak terpisahkan dari kampus. Karena itu, pemahaman (apresiasi) yang tinggi atas local historis mapun local culture kampus akan memudahkan PMII memerankan hal-hal kecil yang sederhana, bukan dengan hal-hal besar yang terlalu makro dan tidak ada hubungannya (dampak kongkrit) sama sekali dengan kampus.
Ketiga, PMII menyiapkan “kelompok strategis” sebagai pelopor dan pengobar semangatperubahan dikampus, sekaligus melakukan pembenahan aspek kognitif, mental dan prilaku kader serta alumnidemi memperluas sayap gerakan diseluruh perguruan tinggi. Apa yang telah terurai diatas, tidak akan pernah bisa dilakukan, jika PMII tidak menciptakan terlebih dahulu sebuah “kelompok strategis” yang terdiri dari kader yang mamiliki intelektualitas tinggi dengan jumlah yang sesuai rasio mahasiswa dikampus. Kader-kader yang terpilih itu didiklalt  secara khusus dengan waktu dan metode khusus (agak ekslusif) oleh komisariat sehingga memiliki kualifikasi sebagai kader yang ideologis, bermetal baja, selalu haus akan ilmu pengetahuan, progresif seta memiliki integritas moral tinggi. Setelah mereka diiarahkan untuk mulai terjun aktif diberbagai aktifitas kampus beseta seluruh pergualatan kegiatan apapun yang terjadi didalamnya dengan membawa segenap idelisme, paradigm dan program-program PMII menjadi bagian yang karib dengan dinamika kampus. Mereka inilah yang akan menjadi motor PMII untuk melakukan kerja-kerja diatas, sehingga mereka akan menarik banyak mahaisiswa untuk turut mengusung paradigma PMII tersebut dengan tanpa beban lagi.
Logika penciptaan “kelompok Strategis” diatas bertumpu pada strategi kaderisasi dari bawah keatas (bottom Up). Dengan terciptanya “kelompok strategis” disetiap komisariat dengan jumlah satu kelompoknya 10 orang, kalau kemudian disebuah cabang diambil rata-rata memiliki 4 komisariat, maka disetiap 1 cabang akan terdapat 40 kader ideologis dan pejuang tangguh PMII. Kalau jumlah cabang PMII ada 150-an, maka sudah mempunyai 6000 orang kader ideologis.
Bayangkan kalau PB kedepan melakukan model pengkaderan seperti ini, maka ditubuh PMII akan tersedia motor-motor penggerak organisasi yang mampu menyuarakan dan pembumian segenap nilai-nilai, ideology dan paradigm PMII tanpa harus berfikir reward yang harus diterimanya, sebab konsepsi reward bagi kader ideologis itu adalah kebanggan yang tersematkan oleh public sebagai “the director of change” para pengarah (penentu) perubahan, bukan lagi sekedar “agent of change” agen perubahan yang setelah usai tugasnya,  kemudian dilupakan orang (ditinggal) dalam proses perubahan yang lebih besar selanjutnya.
Model pengkaderan seperti ini bukannya tanpa resiko, sebab pola pengaturan yang salah akan mengakibatkan kelompok strategis ini akan menjadi kelompok ekslusif, merasa paling intelek, ideologis dan ‘berjasa’ pada organisasi. Ekslusifisme harus dihilangkan dari tubuh organisasi dan mind setiap kader PMII, sebab sikap inilah yang akan mengkerdilkan PMII. Oleh karena itu, PMII harus benar-benar melakukan penyaringan yang ketat dan tidak asal pilih kader, kemudian mereka besedia dibai’at untuk selalu patuh pada nilai-nilai dan ideologi PMII, bukan pada person-person pimpinannya. Kalaupun mereka harus petuh pada pimpinannya, itu sudah barang tentu keluar dari kesadaran mereka akan amanat konstitusi, bukan karena patron-clien.
Selanjutnya, keberadaan kelompok strategis ini bukan untuk menomer duakan kader yang lain, justru keberadaan mereka diperuntutkan men-stimulus kritisme, progresifitas dan pendigdayaan kader, bukan malah sebaliknya untuk menjadikan organisasi dan kader-kader PMII lainnya sebagai tangga bagi mereka untuk memperoleh keuntungan politis. Kalau seluruh proposisi diatas tidak tercapai, maka keberadaan ‘kelompok strategis’ ini patut dipertimbangkan.






MARS PMII
Inilah Kami Wahai Indonesia
Satu Barisan dan Satu Cita
Pembela Bangsa Penegak Agama
Tangan Terkepal dan Maju Kemuka
Habislah Sudah Masa yang Suram
Selesai Sudah Derita yang Lama
Bangsa yang Jaya, Islam yang Benar
Bangun Tersentak dari Bumiku Subur
Reff*
Denganmu PMII, Pergerakanku
Ilmu dan Bakti Kuberikan
Adil dan Makmur Kuperjuangkan
Untukmu Satu Tanah Airku, Untukmu Satu Keyakinanku
Inilah Kami Wahai Indonesia
Satu Angkatan dan Satu Jiwa
Putera Bangsa Bebas Merdeka
Tangan Terkepal dan Maju Kemuka
Denganmu PMII, Pergerakanku
Ilmu dan Bakti Kuberikan
Adil dan Makmur Kuperjuangkan
Untukmu Satu Tanah Airku, Untukmu Satu Keyakinanku

0 komentar:

Posting Komentar